KA’E WAE GE: KISAH MENCARI PERSAUDARAAN DALAM BENANG PUTUS (PENCIPTAAN PERTUNJUKAN TEATER BERBASIS FOLKLORE ASE KA’E MANGGARAI TIMUR, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR)
Abstract
Fokus dalam artikel ini adalah penciptaan drama musikal Ka’e Wae Ge, sebuah folklore genre ceritera rakyat berasal dari
kampung Taga, Desa Golo Nderu, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kisah ini digarap secara kreatif dengan memadukan unsur lakon, tari dan musik yang berlatar lokalitas Manggarai. Ka’e Wae Ge
mengisahkan dua bersaudara yang meninggalkan rumah dan pergi tanpa tujuan karena diusir ibu tiri. Ka’e berarti Kakak, Wae
berarti Air, Ge merupakan partikel penegas. Jadi, secara leksikal berarti Kakak berikan aku air. Teori yang digunakan dalam
proses penciptaan adalah Teori Penciptaan Perspektif Wallas. Dalam perspektif Wallas, proses kreatif meliputi empat tahap, yaitu
(1) persiapan, (2) inkubasi, (3) iluminasi, dan (4) verifikasi.Sedangkan metode yang digunakan dalam pengumpulan data ialah
etnografi. Metode ini meminta peneliti untuk menyelami data dan mengalaminya. Hasil penelitian dan penggarapan (penciptaan)
menghasilkan drama musikal Ka’e Wae Ge yang menggabungkan secara kreatif unsur tradisi antara folklore masyarakat
Manggarai dengan beberapa elemen kebudayaan lain seperti tarian atau atraksi tradisional Caci dan nyanyian khas Manggarai
Nenggo. Garapan kreatif terhadap unsur lakon, musik dan tari mengekspresikan pesan penting kisah ini adalah “benang.” Benang
menjadi metafora persaudaraan. Ketika benang (hubungan persaudaraan putus, maka muncullah kebencian hingga terjadi konflik
yang tampak dalam adegan Caci. Janganlah sesekali menggunting atau memutuskan benang (persaudaraan) itu. Karena ke
manapun atau di manapun tetap kita bersaudara. Rasa persaudaraan itu yang mengatasi kering (tampak dalam setting di padang
pasir). Sedangkan caci memberikan dimensi konflik harus diselesaikan secara indah dan menyenangkan. Benang (rasa bersaudara)
itulah yang mempersatukan kita. Demikian, lagu nenggo yang berisikan syair-syair tua mengibaratkan perjalanan (hidup) harus
dituntun oleh petuah atau nasihat-nasihat untuk membekali perjalanan. Perjalanan di hutan diibaratkan sebagai kehidupan yang
penuh tantangan, kadang menakutkan, kadang menyenangkan. Itulah hakekat hidup yang sesungguhnya disempurnakan oleh
kekurangan dan kelebihan.