MENU UTAMA |
Tentang Jurnal |
Tim Editorial/Penyunting |
Etika Publikasi |
Informasi Kontak |
Edisi Ini |
Arsip Terbitan |
Flowchart Pengiriman & Proses Artikel |
Unduh Template Artikel |
Daftar/Submisi |
-
Jurnal Optimisme PBS (JOPBS)Vol 4 No 2 (2023)
DARI REDAKSI
EDISI NOVEMBER 2023
KONGRES YANG GAGAL
Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII tahun 2023 telah usai 28 Oktober 2023 lalu.
Kongres tahun ini mengusung tema “Literasi dalam Kebhinekaan untuk Kemajuan Bangsa”.
Tema ini begitu seksi setidaknya untuk dua hal. Pertama, sebagai refleksi kritis atas
Indonesia sebagai negara bangsa yang dibentuk oleh keragaman. Artinya, keragaman adalah
kenyataan sosial sekaligus kenyataan ilahiah. Kedua, berusaha merespon “retak sosial”
masyarakat Indonesia yang belakangan ini mengalami pendarahan hebat. Keragaman,
terutama agama telah menjadi belati yang menggunting tali persaudaraan. Agama dikerutkan
sedimikian hanya sekadar alat politik, atau menjadi semacam kontainer yang mengangkut
kepentingan sekelompok orang.
Kongres Bahasa XII tahun 2003 ini justeru mempertegas keadaan itu. Jawaistik dalam
semua urusan akademis dalam kongres ini sangat terasa. Bayangkan, pemakalah dan
pembicara penting dalam kongres yang mendiksusikan keberagaman itu adalah sejumlah
pakar Jawa. Padahal, mereka hanya memahami keberagaman secara ilmiah. Jarang diundang
pakar-pakar dari timur memberikan testimoni secara ilmiah pengalaman alamiah dalam hidup
bersama dalam keberagaman. Pakar-pakar keragaman di luar Jawa hanya menjadi pasien dari
kongres ini. Hemat saya, ini salah satu kongres yang tidak merepresentasi keberagaman itu.
Ini Kongres Bahasa yang gagal.
Orang luar Jawa atau Indonesia Timur, pengalaman hidup bersama dalam keberagaman
adalah hal yang lumrah. Bahkan, telah dikonstruksi sebagai bagian kearifan lokal. Pranata
sosial di Indonesia Timur telah menyediakan “ruang ria” untuk hidup bersama dalam
perbedaan. Jawalah yang merasa balepotan dengan isu intoleran dan telah menjadikan
Indonesia sebagai pasar untuk menjual surga, neraka, akhirat di beranda politik. Keadaan
demikian, membangkrutkan nilai kebangsaan. Di Jawa, perbedaan aqidah menjadi belati,
sedangkan di Indonesia Timur perbedaan aqidah telah menjadi melati.Kupang Medio November 2023
Marselus Robot -
Jurnal Optimisme PBS (JOPBS)Vol 3 No 1 (2022)
DARI REDAKSI
EDISI JUNI 2022
Teks dan Konteks
Paulina, sebutlah namanya begitu. Ia mendatangi kantor polisi setelah sebulan ia
bertengkar dengan tetangganya Marta (nama samaran). Pasalnya, kambing milik Martha
masuk kebun sayur Paulina dan menghabisi sebagian besar sayur di kebunnya itu.
Pertengkaran keduanya berlangsung dalam bahasa daerah masing-masing. Paulina dan Martha
tidak sepenuhnya memahami keseuluruhan isi pertengkaran itu. Namun, mata yang melotot,
pergerakan Marta yang mendekati Paulina sambil menunjuk-nunjuk, disertai nada
pembicaraan yang tinggi, terkasan meradang. Pertengakaran berakhir setelah tetangga
melerai keduanya. Dalam wajah sangut keduanya memasuki rumah masing-masing.
Sebulan berlalu, ketika pertegkaran itu mulai dihapus waktu, tiba-tiba tetagga Paulina,
Antoneta datang bertemunya untuk suatu keperluan. Keduanya gosip ramai. Gosip kian asyik
hingga pertengakaran sebulan yang lalu. Antoneta yang ikut menonton pertengkaran itu mulai
menerangkan sejumlah umpatan Marta kepada Paulina. Menurut Antoneta, Marta mencaci
maki begitu sengit terhadap Paulina. Antoneta menerjemahkan makian itu dalam bahasa
Indonesia. Paulina perlahan berang, kening berurat biru, pupil matanya bagai kesemutan.
Besoknya ia mendatangi kantor polisi. Polisi memeriksa Ibu Paulina. Singkat percakapan Pak
Polisi dengan Ibu Paulina:
“Aapakah saudara dimaki oleh oknum terduga (Martha)?” Tanya Polisi.
“Ya.”
“Coba jelaskan.”
“Saya tidak dapat menjelaskan. Ia menggunakan bahasa daerahnya.”
“Bagaimana Anda tahu bahwa tertuduh Marta mencaci-maki Anda?”
“Antoneta, tetangga saya yang menceriterakan dan memberitahukan bahwa Martha
memaki saya.”
“Kami segera panggil Antoneta sebagai saksi.”
Pesan apa yang dari percakapan di atas? Pertama, bahasa berfungsi dalam konteksnya.
Martha yang marah memelototi Paulina dan berbiacara dengan nada marah adalah pentunjuk
untuk memaknai teks (umpatan) Marta kepada Paulina. Kedua, yang didakwa ikut bersalah
adalah si penerjemah, Anoneta. Sebab, dari Antonetalah diketahui bahwa umpatan Martha
terhadap Paulina adala caci maki yang sangat keji. Ketiga, ketahuan bahwa konteks dan teks
berhubungan. Sebagaimana dikata Halliday (1994), konteks merupakan
“something accompanying text”, (sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks). Konteks
menjadi latar terjadinya suatu komunikasi. Dengan demikian, konteks dapat dipandang
sebagai alasan terjadinya suatu pembicaraan, dialog, atau teks.
Redaksi Pelaksana
Marselus Robot -
Jurnal Optimisme PBS (JOPBS)Vol 2 No 2 (2021)
DARI REDAKSI
EDISI DESEMBER 2021
Bahasa, Rahasia, dan Manusia
Benarkah bahasa dapat membentuk pandangan dan gagasan? Marcel Danesi (2010:133) sangat serius
menelaah rahasia bahasa ketika mengatakan, “Secara universal, bahasa selalu dirasakan sebagai memiliki
kapasitas lain, membedakan manusia dengan species lain. Muncul pula pertanyaan serius yang diajukan
Tubbs dan Moss (1996:86), “Apakah bahasa membentuk pikiran atau hanya sebagai alat berpikir?”
Pertanyaan pendek yang mengundang jawaban panjang ini dijawab pendek pula oleh Sapir dan Whorf.
Kedua ahli ini mengatakan, “Dunia ini dipersepsi secara berbeda oleh para anggota komunitas linguistik
yang berlainan dan persepsi ini di transmisikan, serta dipertahankan oleh bahasa (dalam Tubbs dan Moss,
1996:87).
Dalam tradisi filsafat Femonoliogis ala Stanly Deetz (Litlejohn dan Foss, 2009:57), bahasa diletakkan
sebagi pilar ketiga. Deetz mengatakan, “Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia
melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu” (ibid). Deetz
mencotohkan, kita mengetahui kunci karena bahasa yang kita hubungkan dengan: “menutup,” “membuka,”
“besi,” “berat,” dan sebagainya.
Tak berlebihan bila dikatakan, bahasa terang untuk mengenal dan mempunyai dunia. Bahkan, bahasa
adalah dunia kita di mana kita menanam, sekaligus mencangkul rahasia hidup. Dunia yang kita kenal,
dunia kita bentuk melalui bahasa. Inilah rahasi-rahasia bahasa yang sering pahami secara teologis sebagai
rahmat. Toh bibel sendiri secara terang-bendenrang mengatakan, “asal mula adalah sabda.” Sabda adalah
bahasa. Karena itu, bahasa manusia harus menyapa dan menyabda. Ketika seseorang mengatakan, “monyet
lu” (dalam konteks marah) misalnya, maka dalam konteks fenomenologi. Dan kita merasa tersinggung atau
marah, tiu disebabkan oleh karena frasa itu dihubungkan dengan: manusia, anjing, kerbau, babi, kuda, dan
sebagainya. Lalu, penutur frasa “monyet lu”, termasuk jenis yang mana? Toh, manusia dengan binatang
“beda dikit.” Cuma bonus akal-budi dan bahasa oleh Tuhan untuk menggenapi kekurangannya.Redaksi Pelaksana
Marselus Robot -
Jurnal Optimisme PBS (JOPBS)Vol 2 No 1 (2021)
DARI REDAKSI
EDISI MEI 2021Bahasa dan Ideologi
Edisi Optimisme kali ini lahir, ketika konflik antara Israel dan Hamas (Pelestina) lagi akut.
Telah banyak nyawa yang direngguk akibat konflik tersebut. Upaya gencatan sejanta telah
dilakukan. Namun, gencatan kata, kalimat, dan wacana tidak dilakukan. Malahan, wacana (baca
media) terus menggemburkan dan menghamburkan suasana horor. Akibatnya, sebagian kecil
masyarakat kesurupan dan memaki-maki kelompok tertentu. Kita begitu gampang terperosok
dalam dua kubu itu. Padahal, kita bukan siapa-siapa. Bukan intelejen, bukan pula kedubes
Indonesia untuk Israel dan Palestina. Namun, kita terkesan tahu tentang kasus kedua negara itu.
Israel dan Palestina datang kepada kita melalui pihak ketiga, yakni media massa. Artinya, pose
Israel dan Palestina di hadapan kita melalui kata, frasa, kalimat, dan wacana yang telah
dikontruksi secara sistematis oleh jurnalis. Para jurnalis mengontruksi realitas menjadi realitas
verbal, atau sering disebut dengan realitas kedua (second reality). Unsur elementer untuk
mengubah realitas pertama (realitas sebenarnya) menjadi realitas kedua (realitas verbal) adalah
bahasa.
Bagaimana jurnalis menggunakan bahasa untuk mengubah realitas ini? Pertanyaan ini
hanya mendapat jawaban bila kita melakukan konfirmasi dengan teori Analisis Wacana Kritis.
Norman Fairclough atau Teun van Dijksecara tegas mengatakan, wacana tidak cukup paham
sebagai satuan lingual yang mengandung arti, tetapi merupakan alat ungkap ideologi dan
kekuasaan. Bahasa tidak pernah netral. Ia telah disusupi oleh ideologi. Seorang jurnalis dengan
haluan politik tertentu, dapat menulis kalimat, “Tariq Ismail meninggal diterjang peluruh tentara
Israel.”Jurnalis lain menulis, “Anak-anak Palestina meninggal diterjang peluruh tentara Israel.”
Secara tekstual, arti kedua kalimat itu, kurang lebih sama. Namun, secara wacana sangat berbeda.
Kalimat pertama, menunjukkan oknum (hanya seorang). Sedangkan kalimat kedua menunjukkan
kelompok atau jumlah yang besar, “anak-anak palestina.” Kalimat kedua mengandung bias
nominal (nominalisasi). Tentu, masih banyak lagi peranti kebahasaan yang menjadi instrumen ideologis. Ini yang sering saya sebut sebagai manuver tekstual atau yang disebut pula dengan
sistem pembingkaian (framing). Pembaca sengaja dikerangkeng dalam pembingkaian bahasa
jurnalis. Problem itulah yang sedang melanda masyarakat kita. Betapa jarang kita mencoba
melakukan pembandingan (literasi) bagai pemberitaan media di Indonesia dengan media di
Australia, Amerika, atau Arab seklipun.
Kita mengetahui konflik Israel dan Hamas (Palestina) melalui pihak ketiga tadi (media massa).
Kita tentu diminta cerdasa membaca media tidak hanya satuan lingual (informasi), melainkan
ideologi di baliknya. Karena itu, gencatan senjata, hanya menjadi ironi bila tidak diikuti dengan
gencatan kata. Apakah dalam perang apapun sangat sulit melakukan gencatan kata? Padahal, kata
jauh lebih tajam dari pedang atau senjata. Napoleon Bonaparte (1769-1821, Kaisar Perancis) dan
panglima perang sejagat itu pernah berkata, “Saya lebih takut seorang wartawan daripada seribu
serdadu.”
Redaksi
Marselus Robot -
Jurnal Optimisme PBS (JOPBS)Vol 1 No 2 (2020)
DARI REDAKSI
EDISI DESEMBER 2020
Memasuki edisi dua ini, Jurnal Optimisme tampil dengan dua wajah, yakni offline
(tercetak) dan online (daring).Tampilan online sesungguhnya usaha merespongerak-gerik
kemajuan yang kian pesat. Demikian pula, pembaca sudah melakukan eksodus besar-besaran dari
komunitas yang berbasis teritori ke komunitas pembaca yang bertanah air di dunia maya atau
internet. Perpustakaan secara fisik perlahan ditinggalkan, sepi bagai kuburan tua. Perpusstakaan
era digital hanya digengam dan dapat dibaca kaoan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Bayangkan,
katalog buku hany dicari antara jempol dan tombol. Diakui, keuntungan edisi online ialah:
Pertama, lebih cepat sampai kepada pembaca. Kedua, lebih luas wilayah publisitasnya. Ketiga,
mekanisme redaksional pun tergolong lebih mudah.
Satu lagi yang membahagiakan kita, Jurnal Optimisme telah terideks di Google Scholar
dengan Platform & workflow by OJS/PKP. Artinya, Jurnal Optimisme bermartabat secara
akademik, sekaligus menjadi tantangan berat bagi awak Optimisme. Optimisme ditahbiskan
menjadi jurnal internasional yang dapat diakses oleh siapa saja di seluruh dunia.Status Optimisme
terindeks Google Scholar dan menjadi Open Journal System menuntut kualitas berstandar
internasional.
Tututan demikian yang kian menggiatkan awak Optimisme untuk perlahan berbenah. Pada
level redasional ditangani oleh generasi milenial yang jenial dan mempunyai kemampuan teknikal
yang tinggi. Pada level, editor dan penelaah disarankan untuk menunjuk parah ahli di bidang
masing-masing dan lintas universitas. Dalam konteks itulah, Jurnal Optimisme menjadi beranda
ilmiah sebagai ruang rangsa untuk menyampaikan temuan penelitian dan gagasan kritis yang
bermanfaat bagi masyarkat. Semacam bentuk sedekah ilmiah yang disumbangkan kepada
masyarakat luas. Karena itu, kita diundang untuk menulis sebagai wujud amalilmiah dan ilmiah
amaliah. Selamat membaca.
Redaksi
Marselus Robot -
Jurnal Optimisme PBS (JOPBS)Vol 1 No 1 (2020)
DARI REDAKSI
Tahun 2020 ini Optimisme memasuki usia delapan tahun. Usia tergolong belia.
Namun, bukan usia yang masih belia itu, tetapi bagaimana ia bertahan hidup atau hidup
bertahan, terseok, kadang keok, toh ia siuman setiap enam bulan sekali. Salah satu kanker
akut yang memagutnya ialah minusnya naskah yang masuk ke redaksi. Jika ada yang masuk,
harus diobname (direvisi) secara besar-besaran. Pekerjaan semacam itu sangat menjemukan.
Awak Optimisme berusaha menjaga roh agar tetap mempertahankan kontinuitas.
Dalam edisi ini, Optimisme menghadirkan lima artikel dengan dua tema yakni bahasa
dan sastra. Dua tulisan sastra yakni “Perjalanan Hardo dari Kolong Jembatan Menuju
Bintang” tulisan Marsel Robot dan Karus Maria Margareta. Tulisan ini menganalisis tokoh
utama Hardo dalam Novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer. Hardo merupakan
representasi tokoh pejuang pribumi yang tak tahan atas penindasan Nippon, si penjajah galak,
tengik, dan jutek itu. Hardo berusaha menyamarkan diri sebagai anak jalanan dan
meninggalkan rumah, meninggalkan keluarga demi berjuang melawan penajajah. Tema sastra
berikutnya berjudul: “D. Zawawi Imron Duta Madura Untuk Khazanah Sastra Indonesia
Modern”. Tulisan tersebut merupakan karya seorang guru yang sangat produktif dalam
menulis Yoseph Kono. Kono membahas seluk beluk kepenyairan dalam puisi-puisinya. Ia
menjelaskan secara detail gaya kepenyairan dan jiwa raga puisi Zawawi Imron. Pembaca
akan mendapatkan uraian lengkap dalam tulisan ini.
Optimisme menampilkan tulisan Telaah Wacana Kritis pada Teks Wacana Stund Up
Comedy Season 4 di Kompas Tv. Tulisan ini merupakan ringkasan skripsi Hendrikus A. A.
de Rosari. Tulisan ini dipandang layak masuk Optimisme, terutama kebaruan tema yang
digarapnya. A. De Rosari menelaah wacana struktur makro, superstruktur dan struktur
mikro pada teks wacana Stand Up Comedy Season 4 di Kompas Tv dengan menggunakan
analisis wacana kritis Teun van Dijk.
Artikel dari Frans Bustan dan Yohanes Bhae berjudul, “Menyingkapi Eksistensi
Manusia sebagai Homo Sapiens”. Tulisan ini menyingkap dan memaparkan eksistensi
manusia sebagai homo sapiens atau animal rationale, animal symbolicum, dan homo loquens
atau talking animal yang menyiratkan adanya hubungan maknawi begitu erat antara pikiran,
kebudayaan, dan bahasa. Eksistensi manusia sebagai homo sapiens atau animal rationale
ditandai dengan bahasa sebagai sarana bernalar.
Tulisan Maxzien I. Djawa Gigy Analisis berjudul: “Nilai Histori Nama Jalan (Gang)
di Kel. Batuplat, Kec. Alak, Kota Kupang”. Tulisan ini merupakan ringkasan skripsi. Masuk
dalam penilaian redaksi Optimisme karena kekhasan atau lokalitas tesis yang dimunculkan
dalam tulisan ini. Pemberian nama jalan selalu memuat memori tertentu dari masyarakat yang
memberikan nama jalan tersebut. Teori yang digunakan adalah teori Toponimi. Teori ini
merupakan sebuah teori yang secara khusus mengkaji riwayat asal usul nama tempat. Teori
Penamaan atau Toponimi bersifat konvensional, karena disusun berdasarkan kebiasaan
masyarakat dan bersifat arbiter karena kemauan masyarakatnya.
Akhirnya, setiap tulisan yang baik selalu menyediakan serambi, tempat
mendiskusikan kekurangannya. Di sanalah pembaca mengambil bagian untuk memberikan
menu tambahan pada tulisan-tulisan ini. Selamat membaca.